MEMBANGUN KESADARAN DEMI TERWUJUDNYA BUDAYA MUTU

Published by Trust Consultant on

Pendahuluan

Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak asing dengan kata Budaya. Manusia hidup dikelilingi dengan budaya baik budaya di masyarakat, di timpat kerja atau bahkan di lingkungan terkecil kita yaitu dalam keluarga. Dalam kesempatan ini kami tidak akan membahas budaya dari sisi antropologi maupun sosiologi namun kita akan mengulas tentang budaya organisasi yang dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Budaya organisasi atau dapat disebut juga sebagai budaya perusahaan, memuat nilai dan asumsi yang ada di dalam kelompok atau komunitas yang berada dalam perusahaan tersebut (McShane & Von Glinow, 2010). Budaya perusahaan dapat menentukan apa yang dianggap penting dan tidak penting di dalam perusahaan (Febriani & Soerjoatmodjo, 2019). Selain itu, budaya organisasi juga berfungsi untuk mengarahkan semua orang di dalam perusahaan mengenai cara yang benar dalam melakukan sesuatu. Budaya organisasi juga dapat membantu organisasi yang sedang tumbuh dan berkembang (Tartika, Utami & Mukzam, 2017).

[rml_read_more]

Persyaratan Dalam SMM ISO 9001

Bentuk penerapan system manajemen mutu ISO 9001:2015 salah satunya adalah mendemonstrasikan system tersebut ke dalam berjalannya proses harian di perusahaan. Salah satu persyaratan dalam system manajemen mutu ISO 9001:2015 yang berkaitan erat dengan membangun budaya mutu adalah klausul 7.3 tentang kesadaran (Awareness) yang mengatakan sebagai berikut :

Organisasi harus memastikan orang yang bekerja dibawah kendali organisasi harus menyadari:

  1. Kebijakan mutu;
  2. Sasaran mutu yang relevan;
  3. Kontribusi mereka untuk efektivitas sistem manajemen mutu, termasuk manfaat dari peningkatan kinerja mutu;
  4. Implikasi dari ketidaksesuaian dengan persyaratan sistem manajemen mutu.

Dalam implementasi klausul 7.3 ini, membutuhkan ketekunan, kreativitas dan tauladan dari para Pimpinan Departemen hingga Top Manajemen.

    Tahapan Membangun Budaya Mutu

    Dalam mewujudkan terbentuknya budaya mutu, tahapan yang perlu dilalui dapat dilihat pada gambar berikut :

    Gambar 1. Tahapan Membangun Budaya

    Pada gambar diatas dapat kita lihat bahwa tahapan paling bawah dalam membangun budaya mutu adalah dengan adanya paksaan. Paksaan dalam hal ini dalah dalam konteks yang positif. Dengan adanya penerapan system baru yang telah ditetapkan oleh manajemen perusahaan maka siapapun yang ada dalam perusahaan tersebut harus mematuhinya. Resistensi maupun riak-riak atas adanya keharusan untuk mengikuti perubahan sistem pasti akan ditemui dilapangan terutama yang akan muncul dari pihak-pihak yang sudah terbiasa dengan zona nyaman (comfort zone).

    Setelah semua pihak dengan terpaksa menjalankan system hingga akhirnya mereka menjadi bisa menjalankannya. Dengan berjalannya waktu, implementasi system yang telah dilakukan dengan berulang-ulang selain akhirnya menjadi kebiasaan, sebagai contoh dalam pengisian formulir serah terima atau transfer barang dari Departemen A ke Departemen B dengan ditambahkannya tanda tangan Grup Leader maka pengisi form akan dipaksa hingga mampu mengisikan informasi yang seharusnya secara lengkap dan konsisten karena akan diperiksa oleh Grup Leader. Jika tidak dilakukan secara lengkap maka operator pengisi form akan mendapatkan teguran dari Grup Leader.

    Setelah kebiasaan positif tersebut berjalan secara berulang-ulang hingga waktu tertentu maka akan menjadi sebuah budaya. Sebagaimana contoh pada paragraph sebelunya, setelah kekonsistenan dan kelengkapan pengisian formulir menjadi terbiasa maka akan terasa aneh apabila pengisian formulir tersebut tidak lengkap. Dalam hal ini kebiasaan mengisi formulir secara lengkap dan konsisten telah menjadi budaya dalam perusahaan tersebut.

    Setiap perusahaan memiliki strategi masing-masing dalam membangun kesadaran dimana muara dari upaya membangun kesadaran tersebut adalah terciptanya budaya mutu (Quality Culture). Berbagai upaya yang dapat dilakukan oleh setiap perusahaan adalah sebagai berikut :

    Komitmen yang Kuat

    Komitmen merupakan pondasi dari sukses tidaknya penerapan system manajemen mutu. Komitmen juga dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja suatu organisasi (Sutanto & Ratna, 2015). Kuatnya komitmen dari Top Manajemen dan para pimpinan departemen dapat menjadi booster bagi para bawahannya hingga level operator. Top Manajemen dan para pimpinan departemen haruslah memiliki visi yang sama dalam komitmennya untuk mensukseskan penerapan system manajemen mutu. Penyamaan visi dalam berkomitmen untuk melaksanakan system manajemen mutu dapat dituangkan dalam bentuk penandatanganan bersama dalam sebuah dokumen / board. Dokumen atau board tersebut kemudian ditempatkan di ruang atau lokasi yang dapat dilihat. Semakin sering orang melihat maka akan semakin tertanam ke dalam memorinya bahwa dia telah menandatangani pernyataan komitmen tersebut. Hal ini diharapkan dapat menjadi stimulus dalam dirinya untuk mampu turut andil dalam menegakkan komitmen tersebut.

    Bagaimanakah hubungan antara komitmen terhadap terwujudnya budaya mutu? Hal ini dapat kita kaitkan dengan tahapan membangun budaya mutu. Jika setiap pimpinan dalam organisasi baik dari Top Manajemen hingga para pimpinan departemen memiliki komitmen yang kuat terhadap penerapanan manajemen mutu, maka setiap pimpinan dapat memiliki kekuatan untuk memaksa bawahannya untuk melaksanakan proses sesuai aturan yang diatur dalam manajemen mutu. Kuatnya power pimpinan dapat memberikan paksaan hingga bawahannya bisa kemudian menjadi biasa dan selanjunya akan membudaya. Kuatnya komitmen selain menciptakan power untuk memaksa juga akan menciptakan kreatifitas dalam menanamkan kebiasaan positif dari pimpinan kepada bawahanya. Kedua hal tersebut Kembali kepada karakteristik dari setiiap pimpinan

     

    Keteladanan

    Keteladanan Top Manejemen dan Pimpinan Departemen dapat menjadi salah satu upaya dalam membangun kesadaran karyawan akan kontribusi positifnya terhadap tujuan pencapaian perusahaan. Keteladanan pimpinan dalam penerapan prosedur dan perangkat system lainnya berpengaruh secara simultan terhadap disiplin karyawan dalam menjalankan aturan (Sofyan, Adnan & Majid, 2015). Outcome dari keteladanan pimpinan, dapat menciptakan keengganan bagi karyawan untuk melakukan kealpaan dalam bekerja. Dengan kata lain adanya keteladanan pimpinan dapat mempengaruhi niatan karyawan dalam melakukan hal-hal yang dapat menyebabkan ketidaksesuaian. Kondisi tersebut disebut dengan teory of planned behavior (TPB) yang diperkenalkan oleh Ajzen, (1991). Berbeda dengan cara pemaksaan, keteladanan dapat menanamkan kesadaran dengan cara ditumbuhkan dengan sendirinya dari setiap diri karyawan. Kelemahan dari pendekatan ini adalah membutuhkan waktu lebih panjang dibandingkan cara pemaksaan.

    Keterbukaan

    Membangun keterbukaan sangat diperlukan dalam upaya membangun budaya mutu. Membangun keterbukaan bagi karyawan merupakan upaya untuk menanamkan nilai kejujuran pada setiap diri karyawan. Adanya keterbukaan dapat mengidentifikasi permasalahan sejak dini sehingga perusahaan dapat merespon cepat untuk menentukan tindakan koreksi dan korektifnya. Tantangan besar pada pendekatan ini adalah karakter setiap karyawan satu dan lainnya berbeda, tidak semua orang dapat terbuka terutama bagi yang memiliki karakter introvert.

     

    Memotivasi

    Pendekatan lain dalam menanamkan kesadaran yaitu dengan senantiasa memberikan motivasi serta wawasan terhadap aspek internal dan eksternal perusahaan kepada karyawan di dalam departemennya. Pendekatan motivasi dan membuka wawasan dapat dikombinasi dengan system pemaksaan. Dalam hal ini karyawan selain dituntut untuk menjalankan system juga diberikan wawasan terkait aspek-aspek yang berpengaruh serta senantiasa dimotivasi agar terbangun spirit positif dari dalam diri karyawan tersebut. Tantangan yang harus dihadapi dalam pendekatan ini adalah tidak semua pimpinan departemen mampu menjadi motivator bagi para bawahannya.

     

    Komunikasi Efektif

    Komunikasi efektif adalah pertukaran informasi, ide, perasaan yang menghasilkan perubahan sikap sehingga terjalin sebuah hubungan baik antara pemberi pesan dan penerima pesan. Syarat utama komunikasi yang efektif adalah karakter dan integritas pribadi yang menyampaikan pesan tersebut (Nurrohim dan Anatan, 2009). Untuk membangun komunikasi yang efektif diperlukan lima dasar penting yaitu usaha untuk benar-benar mengerti orang lain, kemampuan untuk memenuhi komitmen, kemampuan untuk menjelaskan harapan, kemauan untuk meminta maaf secara tulus jika melakukan kesaahan, dan kemampuan memperlihatkan integritas.

    Dalam upaya membangun budaya mutu, komunikasi yang efektif sangat diperlukan untuk menjembatani tersampaikannya pesan-pesan positif antara pimpinan dan karyawan. Berbagai bentuuk komunikasi efektif dalam perusahaan adalah terpeliharanya aktivitas penyampaian pesan dari pimpinan ke bawahan seperti regular meeting dan briefing. Serta sebaliknya adanya fasilitas dari karyawan untuk menyampaikan pesan atas apa yang terjadi di lingkungan kerjanya seperti membangun keterbukaan dan adanya person tertentu yang ditunjuk sebagai penerima pesan semacam petugas konseling karyawan atau juga dapat menyediakan penerimaan pesan secara tertutup melalui kotak saran.

     

    Pesan Visual

    Pesan visual bertujuan untuk mempengaruhi orang yang melihat dan membaca untuk bertindak sesuai dengan yang disampaikan dalam pesan tersebut. Pesan visual biasanya berisi kata-kata yang terangkai dalam sebuah kalimat pendek. Media pesan visual dapat berupa banner, poster, video display, dan lain-lain yang dapat terlihat oleh orang yang lewat maupun orang yang berada pada lingkungan tersebut. Pesan visual dapat berupa ajakan maupun larangan. Sebagai contoh ajakan adalah Our Next Process is Our Customer. Contoh pesan visual larangan adalah Kawasan Bebas Rokok. Banyak perusahaan yang menggunakan cara ini untuk membangun kesadaran karyawannya.

     

    Adopsi Konsep 5S

    Salah satu konsep yang dapat diadopsi dalam membangun budaya mutu di area kerja adalah konsep 5S dari Kaizen. 5Sadalah suatumetodepenataan dan pemeliharaan wilayah kerja secara intensif yang berasal dariJepangyang digunakan olehmanajemendalam usaha memelihara ketertiban, efisiensi, dan disiplin di lokasi kerja sekaligus meningkatan kinerja perusahaan secara menyeluruh (Imai, 1998). Isi dari 5s ini terdiri dari:

    1. Seiri(Ringkas), merupakan kegiatan menyingkirkan barang-barang yang tidakdiperlukan sehingga segala barang yang ada di lokasi kerja hanya barang yang benar-benar dibutuhkan dalam aktivitas kerja.
    2. Seiton(Rapi), segala sesuatu harus diletakkan sesuai posisi yang ditetapkan sehingga siap digunakan pada saat diperlukan.
    3. Seiso(Resik), merupakan kegiatan membersihkan peralatan dan daerah kerja sehingga segala peralatan kerja tetap terjaga dalam kondisi yang baik.
    4. Seiketsu(Rawat), merupakan kegiatan menjaga kebersihan pribadi sekaligus mematuhi ketiga tahap sebelumnya.
    5. Shitsuke (Rajin), yaitu pemeliharaan kedisiplinan pribadi masing-masing pekerja dalam menjalankan seluruh tahap 5S.

    Banyak perusahaan yang telah mengadopsi konsep ini untuk menciptakan budaya mutu di area kerja. Dalam adopsinya ke Bahasa Indonesia istilah ini sering dikenal dengan 5R. Namun kembali lagi hal ini juga tidak terlepas dari peran penting pimpinan dari masing-masing departemen untuk melaksanakan fungsi pengawasan.

     

    Pengawasan Melekat

    Pengawasan melekat dapat dijadikan salah satu upaya menjaga konsistensi dalam penerapan system manajemen mutu. Pengawasan dapat dilakukan oleh pimpinan departemen, supervisor dan group leader. Pengawasan yang dilakukan dapat berupa adanya otorisasi dan validasi proses. Dalam proses pengawasan supervisor maupun group leader harus peka terhadap anomaly yang muncul. Anomali tersebut dapat berupa ketidakwajaran data, informasi yang tidak lengkap maupun penyimpangan praktek di lingkungan departemennya. Setiap adanya anomaly tersebut pimpinan depertemen maupun SPV sangat perlu untuk mempertimbangkan diambil tindakan korektif. Pelaksanaan pengawasan melekat ini perlu dilakukan secara intensif pada masa awal penerapan system. Setelah system berjalan pengawasan juga tetap dijalankan secara konsisten hanya tingkat intensifnya tidak seketat pada penerapan awal. Dengan adanya pengawasan yang melekat akan membawa efek psikologis merasa diawasi. Dampak lebih lanjut dari efek psikologis tersebut maka setiap orang akan menjadi terbiasa untuk konsisten dalam menerapkan system manajemen mutu.

    Kesimpulan

    Terciptanya sebuah budaya mutu merupakan impian bagi setiap perusahaan. Dalam upaya menanamkan nilai-nilai positif ke banyak orang di dalam organisasi bukan merupakan hal yang mudah. Diperlukan peran kepemimpinan yang memiliki komitmen kuat dalam upaya menanamkan nilai-nilai positif tersebut. Sebagai agen perubahan pimpinan juga harus menjadikan dirinya contoh agar seluruh bawahannya mengikuti nilai-nilai positif yang selalu diterapkan dan dipegang teguh oleh pimpinannya.

    Komunikasi yang efektif haruslah terjalin dalam organisasi. Dalam media komunikasi yang tersedia, pimpinan dapat menjadi dekat dengan para bawahannya. Melalui media komunikasi yang baik pimpinan dapat senantiasa memotivasi bawahanya untuk focus pada tujuan perusahaan. Penggunaan media informasi visual juga penting. Banyak perusahaan menggunakan media informasi seperti banner dan spanduk untuk mengkomunikasikan nilai-nilai positif bagi karyawannya.

    Pengadopsian konsep lain dalam membangun budaya mutu dapat memberikan kerangka dalam prakteknya di lapangan. Salah satu konsep yang dapat diaplikasikan adalah 5S. 5S dari kaizen ini banyak diaplikasikan oleh perusahaan untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban di area kerja. Terbangunya keteraturan dan ketertiban tersebut juga merupakan budaya mutu.

    Perkembangan atas upaya membangun budaya mutu harus secara regular dimonitor. Pengawasan melekat dari setiap pimpinan departemen dapat menjadi peran penting dalam mewujudkan budaya mutu.

    Berbagai komponen dalam membangun budaya mutu dalam artikel ini adalah saling keterkaitan namun tidak mengikat secara utuh sehingga sangatlah mungkin dalam penerapannya antara satu perusahaan perusahaan lain berbeda.

     

    Referensi

    Ajzen, I. (1991). Theory of planned behavior. Organizational Behaviour and Human Decision Process, 50, 179211.

    Febriani, Y. P. Soerjoatmodjo, G. W. L (2019) Membangun Perusahaan, Membangun Budaya Organisasi. Jurnal Universitas Pembangunan Jaya. Vol.5 No. 20 Oktober 2019

    Imai, M. (1998).Genba Kaizen: Pendekatan Akal Sehat, Berbiaya Rendah Pada Manajemen.Jakarta, Pustaka Brinaman Pressindo.

    McShane, S. L., & Von Glinow, M. A. F. (2010). Organizational Behavior. (5th ed.). New York: McGraw Hill

    Nurrohim, H. Anatan, L. (2009) Efektivitas Komunikasi Dalam Organisasi. Jurnal Manajemen, Vol.7, No.4, Mei 2009

    c

    Sofyan, A. Adam. M, Majid, M.S.A (2015) Pengaruh Keteladanan Kepemimpinan Dan Penerapan Peraturan Terhadap Disiplin Dan Dampaknya Pada Kinerja Pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Jaya. Jurnal Manajemen Pascasarjana Universitas Syiah Kuala. pp. 101- 111, Volume 4, No. 3, Agustus 2015

    Sutanto, E. M., Ratna. A, (2015) Pengaruh Komitmen Organisasional Terhadap Kinerja Karyawan Berdasarkan Karakteristik Individual. Jurnal Bisnis dan Manajemen Vol. 9, No. 1, Januari 2015, Hal. 56 – 70

    Tartika, R. W., Utami, H. N., & Mukzam, M. D. (2017). Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada Karyawan PT. Toyota Auto2000 Sukun-Malang). Jurnal Administrasi Bisnis, 45(1). Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/87840-ID-pengaruhbudaya-organisasi-terhadap-kine.pdf

    Daftar untuk download artikel



      0 Comments

      Leave a Reply

      Your email address will not be published. Required fields are marked *